Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

keris banyu wangi

Banyuwangi - Bagi masyarakat asli Banyuwangi yang juga dikenal dengan sebutan 'Lare Osing', cerita keris si Gagak dan juga Mas Bagus Wangsakarya merupakan kisah yang cukup populer dan memiliki kenangan tersendiri.

Yah, beragam tradisi yang ada di negeri ini dengan karakter khas berbagai daerah yang tersebar di seluruh penjuru negeri, memang selalu menyisakan kisah lokal tersendiri. Sebuah kisah yang semakin memperkaya khazanah bagi negeri kepulauan ini.

Cerita yang konon diwariskan turun-temurun ini masih memiliki kaitan dengan riwayat dalam babad Tawang Alun. Namun 'bentuk fisik' keris Gagak ini hingga sekarang, masyarakat osing sendiri tidak pernah melihatnya. Jadi, ceritanya populer, namun tidak ada yang pernah lihat bentuknya. Sebuah cerita yang melegenda yang membutuhkan penelusuran lebih lanjut tentang keberadaan keris itu saat ini.

Ada banyak spekulasi dan cerita yang menyebut memiliki keris tersebut, namun keaslian keris berdasarkan cerita yang berkembang di masyarakat masih harus dibuktikan.

Bahkan sang juru kunci petilasan Buyut Cungking yang konon menjadi asal kisah legenda keris Gagak ini pun, tak banyak mengetahui keberadaan keris Gagak ini hingga sekarang, seperti dilansir dari tulisan Thomas Racharto dan komunitas sejarah Banyuwangi.

Mas Bagus Wangsakarya (wongsokaryo, bhs Jawa-red) adalah osok yang konon menjadi pemilik keris yang hidup pada abad ke-17, di masa kerajaan Macan Putih yang diperintah oleh Susuhunan Prabu Tawang Alun, daerah Blambangan tahun 1650-1691.

Awalnya daerah Blambangan adalah sebuah daerah kadipaten di bawah Kerajaan Mataram, hingga tahun 1676 konon Pangeran Kerajaan Tawang Alun ini berhasil membebaskan diri dari pengaruh Kerajaan Mataram, dan melaksanakan pemerintahan sendiri dan menobatkan diri sebagai Susuhunan Prabu Tawang Alun.

Di masa ini pula, konon Blambangan juga sudah tidak tergantung pada pengaruh kerajaan Bali dan juga pemerintahan Belanda. Pelepasan pengaruh ini konon tidak terlepas dari kisah keris Gagak ini dan juga keberadaan Mas Bagus Wangsakarya. Konon pula Mas Bagus ini adalah sosok salah satu guru dari Pangeran Tawang Alun sendiri.

Suatu hari, dengan santun sekali Pangeran Tawang Alun menyampaikan maksudnya kepada Mas Bagus Wangsakarya untuk mengajaknya menghadiri pasowanan agung kerajaan Mataram, dengan semua putra dari garwa Padmi Dewi Sumekar dan putra dari garwa selir. Rombongan ini juga membawa perlengkapan dan bekal yang sangat cukup sebagai upeti bagi Mataram, dari kemakmuran dan kesejahteraan Macan Putih dan tidak lupa juga membawa pasukan dalam jumlah yang besar.

Sesampainya di Mataram, segeralah menghatur sembah hormat dan dengan rapi duduk di siti buntara. Kanjeng Sunan Mataram menyambut baik kedatangan semua rombongan Pangeran dari Macan Putih Blambangan ini dan kemudian  mempersilahkan untuk pergi ke alun-alun guna melihat dan belajar bagaimana cara main sodor-sodaran, jenis permainan yang populer saat itu untuk menguji ketangkasan.

Akhirnya 4 orang putra Pangeran Tawang Alun sempat menyanggupi untuk pergi ke alun-alun, namun ternyata ketika mereka bermain, tak seorangpun berani main sodoran dennga 4 orang Putra Blambangan itu. Mereka mundur semua dan ketakutan, hingga akhirnya keempat putra Macan Putih itu kembali ke ponconiti agung untuk duduk kembali di belakang Pangeran Tawang alun.

Di balai ponconiti agung tersebut, Kanjeng Pangeran Kadilangu, yang merupakan guru peguronnya Kanjeng Sunan Mataram, sedikit merasa dipermalukan akibat peristiwa di alun-alun itu, lalu berdiri dengan gaya yang congkak dan menghina sambil berkata menyindir tertuju pada Mas Bagus Wangsakarya dengan kata-kata.

"Sanakku tuwo mas bagus Wangsakarya dan adiku ing Macan putih, lama sekali saya duduk di kanthil gading ini. Rasanya saya sangat haus sekali, sepertinya badanku ini asat/kehabisan terkuras airnya sedemikian hebat. Kalau ada ijin palilah dari mas bagus Wangsakarya, saya minta kerisnya.

Tanpa mempunyai perasaan sedikit apapun dalam hati, Mas Bagus Wangsakarya memberikan keris si Gagak itu ke Arya Pangeran Kadilangu. Beliau lalu menyampaikan terimakasih bahwa keris sudah diterima dengan baik dan melegakan hati. Tidak lama setelah itu, Arya Pangeran Kadilangu menghunus si Gagak, diangkat ke atas disertai dengan kepala menengadah digeleng-geleng dan membuka mulutnya. Serta merta si Gagak menjadi air yang diteguk dengan lahapnya sampai airnya menetes habis tidak tersisa sedikitpun, tinggal ukiran kering di tangannya.

Dengan merasa puas dan rasa besar kepala, lalu mendekat ke Mas Bagus Wangsakarya untuk memberikan ukiran dan warangkanya. Dengan congkak seolah memamerkan ketinggian ilmunya dan mengatakan bahwa ini terjadi semata-mata diperuntukkan bagi Mas Bagus Wangsakarya, saudara tuaku yang kini menjadi anak kecil lagi!

Dapat dibayangkan bagaimana perasaan mas bagus Wangsakarya melihat adegan dan kalimat Arya Pangeran Kadilangu yang sedemikian itu di hadapan para Bupati dan khususnya dihadapan Pangeran Tawang Alun yang juga ada di sana. Dengan jiwa besar walau rasa malu tidak terkirakan, Mas Bagus Wangsakarya segera berdiri, memberi hormat yang mendalam kepada Sinuhun Sunan Mataram, memohon ijin untuk melakukan sesuatu menebus rasa malu yang besar terhadap rajanya Pangeran Tawang Alun.

Atas permohonan itu, Sinuhun Sunan Mataram mengijinkan dan mengatakan balaslah sesuka hatimu atas rasa sakit malu yang kamu terima dan derita, bahwa memang hutang ya harus dibayarnya walaupun itu tertuju kepada guru peguron saya, janganlah takut dan gentar kepada saya.

Mendengarkan seluruh kata-kata yang dikeluarkan Sinuhun Sunan Mataram, Mas Bagus Wangsakarya serta merta berdiri di tempatnya, lalu mengeplok atau “bertepuk tangan memanggil” dengan mengeluarkan kalimat yang tertuju kepada kerisnya si Gagak yang tadi sudah menjadi air dan berada dalam perut Pangeran Kadilangu dengan suara penuh wibawa dan berkekuatan magis, ”Gagak…oleh kodrat Yang Maha Kuasa ..Ayo cepat keluar dari perut orang yang congkak dan menghina itu dan kembali ke rumahmu !!”

Secepat kilat ganja keluar dari perut Pangeran Kadilangu, mencuat di dada, sedangkan pucuk atau wilahnya keluar dari perut mencuat pada  iganya. Tidak seberapa lama setelah peristiwa itu, Pangeran Kadilangu muntah darah segar, terjerembab di hadapan Susuhunan Sunan Mataram, meninggal mengenaskan. Semua Bupati terperanjat, terkagum-kagum atas kehebatan si Gagak dan ketinggian ilmu Mas Bagus Wangsakarya.

Kelihatannya semua yang hadir segera ingin menangkap Mas Bagus Wangsakarya, namun secepat kilat Mas Bagus Wangsakarya mengambil wilah dan ganja yang masih melekat di dada dan iga Pangeran kadilangu, bersamaan itu pula para putra Pangeran Tawang Alun berdiri disertai seluruh Punggawa yang berpakaian putih-putih bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan andaikata terjadi peperangan saat itu, mereka juga harus siap.

Konon sejak saat ini Macan Putih tidak akan seba lagi ke Mataram, Macan putih bebas merdeka dan Pangeran Tawang Alun  saat ini menyatakan diri bergelar (Susuhunan Prabu) Kanjeng Pangeran Tawang Alun.

Segera semuanya meninggalkan Kanthil gading dan pertemuan pun bubar, sedangkan rombongan dari Kerajaan Macan Putih pulang tanpa berpamitan dengan kemarahan yang tinggi menuju Blambangan. Banyak tanaman dan pohon-pohon kelapa yang berada di sisi jalanan pulang pasukan Blambangan ini yang konon menjadi rusak porak poranda, akibat luapan amarah.

Hingga sampailah rombongan di Macan Putih Blambangan dan selanjutnya pemerintahan berjalan dengan aman, tenteram, makmur, damai yang terasa bagi seluruh masyarakat untuk seluruh negara. Mereka memiliki keraton yang berpagar tebal 6 kaki dan tinggi 12 kaki, terbuat dari batu bata berukuran besar dengan ketebalan 7 Cm, lebar 30 Cm, seluas +- 65 Ha.

Yang menonjol dari Susuhunan Prabu Tawang Alun ini konon adalah sikap tegas dan tidak ingin adanya campurtangan asing di Kerajaan Macan Putih. Ini ditunjukkan oleh Sinuhun dengan menolak keinginan utusan Belanda yang mengajak untuk rujuk dengan Belanda dan Mataram, sampai Beliau wafat di Palucutan (Plecutan) pada 18 September tahun 1691.

Demikianlah, sekelumit cerita mengenai keris si Gagak yang sungguh luar biasa. Dari peristiwa ini kemudian semakin menguatkan posisi Blambangan sehingga akhirnya sedikit demi sedikit Blambangan melepaskan pengaruh dari Mataram.

Konon kisah ini bisa ditemukan dalam Babad Tawang Alun yang terdiri dari beberapa pupuh-pupuhnya, seperti bait syair. Pesan penting dan monumental yang bisa ditangkap dari peran keris si Gagak dan ketokohan Mas Bagus Wangsakarya ini adalah kepercayaan yang kuat dan tinggi bahwa Blambangan mampu hidup dalam kekmuran, tumbuh dan berkembang bermanfaat bagi masyarakat secara mandiri tidak tergantung pada dunia luar manapun.

Konon, dalam versi lain sebagai tiruan menyebut, secara fisik Keris Gagak tersebut berlekuk (luk) tiga yang sering disebut Jangkung, pamor triwarna (Batu lapak, Ombak segoro dan tolak balak), terkandung maksud dalam acara ritual pembuatannya oleh Mpu Moh Yakun Sunar, berdoa memohon kepada Tuhan untuk mendapatkan daya magis agar Banyuwangi selalu memperoleh jangkungan/perlindungan Tuhan yang maha Kuasa dari segala kenegatifan; kokoh makmur dan mampu mengatasi aral yang ada.

Keris “Gagak” memiliki ciri sendiri berupa relief burung Gagak, sedang mengepak sayap kedalam, berwarna hitam yang terletak pada bagian sor-soran keris; yang belum pernah dibuat sebelumnya. Pada Pameran Pusaka dalam rangka peringatan Hari jadi Banyuwangi yang ke-237, pada tahun 2008 Gagak tampil sangat menarik perhatian masyarakat.

Si Gagak yang dirindukan yang sering dipertanyakan dan yang sudah sangat dikenal oleh komunitas Banyuwangen, seolah lahir kembali menjadi keris Pancer Gagak, monumen sejarah perkerisan Kamardikan di Bumi Blambangan. (imm/imm)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

keris jogja

Jogja Keris, Surganya Keris Pusaka
21/09/2006 14:52

Keris merupakan salah satu peninggalan budaya yang sangat bernilai. Bukan hanya sebuah senjata, keris juga merupakan suatu hasil karya spiritual di masa lampau. Berbicara soal keris, tentu tidak akan lepas dari sejarah keris itu sendiri.
Keris dianggap sebagai tanda perjalanan suatu peradaban, dan suatu kebudayaan dalam suatu bangsa dalam kurun waktu yang sangat lama. Bahkan mencapai ribuan tahun. Keris juga kerap dikaitkan sebagai simbol-simbol, mulai simbol kewibawaan, simbol kebijaksanaan, hingga simbol kehidupan. Tak hanya itu, keris yang multifungsi ini rupanya pada jaman dahulu juga diposisikan sebagai penglaris, dan suatu simbol kebesaran. Lihat saja gambaran raja-raja Jawa, dan pahlawan-pahlawan Jawa, yang selalu membawa keris.
Keris memang telah mengalami pergeseran fungsi. Tak lagi menjadi senjata andalan, keris saat ini menjadi barang yang bernilai tinggi dan pantas untuk dikoleksi. Bahkan tidak sedikit orang yang mencintai serta menekuni ilmu-ilmu dan sejarah perkerisan.
Berawal dari kecintaan dan koleksi akan keris itulah berdiri Jogja Keris yang berlokasi di Nagan Kulon No.1 Jogja. Meski bernama Jogja Keris, tapi ini bukanlah tempat untuk kita bisa memesan keris, disini tidak ada empu-empu yang menempa besi, pembuat keris sakti. Namun di sini kita bisa mendapatkan bermacam model keris dari berbagai jaman dan berbagai sejarah.

Keris yang diperjualbelikan umumnya terbuat dari bahan besi baja dan meteor. Iya, meteor yang jatuh dari luar angkasa! Dan kebanyakan adalah keris yang beraliran Jogja dan Solo. Untuk perbedaanya, menurut Mas Seno, salah satu pengelola, dapat dilihat dari bentuk kerisnya. Keris Solo lebih besar dan panjang dibandingkan keris Jogja yang bentuknya ramping. Keris di Jogja Keris dipastikan merupakan keris pusaka dari jaman dahulu, jaman kerajaan Jawa. Dan awalnya merupakan koleksi yang dikumpulkan dari berbagai daerah di Indonesia.

Nilai sebuah keris tidak bisa dilihat hanya dari tangguh (asal usul keris dari bentuk yang berasal dari suatu daerah atau jaman) keris tersebut, karena menangguh (memperkirakan asal-usul keris) bukanlah suatu hal yang mudah. Terkadang tiap orang mempunyai pendapat yang berbeda dalam menangguh. Sebutan keris tua diperkirakan tangguh Mataram Tua, dan keris muda tangguh Hamengkubuwono VII.
Mas Jumakir dan Mas Seno mengatakan, nilai keris sendiri lebih ditentukan dari nilai estetikanya keseluruhannya yang antara lain dilihat dari pamor-nya (motif pada sebilah keris), penggarapannya, dan bahan tambahannya, misalnya emas dan berlian. "Ada keris yang sudah tua sekali, tapi pamornya biasa dan keadaanya tidak begitu baik, ya nilainya juga turun. Tapi ada keris tidak begitu tua, tapi pamornya bagus dan punya nilai estetika tinggi, nilainya juga akan tinggi," ujar Mas Jumakir.
Untuk keris yang punya nilai sangat tinggi, Mas Jumakir menyebut keris gajah singo. Keris ini merupakan keris hadiah dari raja untuk panglimanya yang berhasil menang dalam medan peperangan pada jaman kerajaan dahulu. Pada keris ini terdapat ukiran gajah dan singa dari bahan emas.
Untuk harga sebuah keris, dapat dilihat dari berbagai sudut penilaian berkisar dari ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah. Untuk saat ini, Mas Seno mengatakan yang datang ke gerainya tak hanya orang lokal, tapi juga orang manca, seperti Malaysia dan Belanda. Tak hanya itu, ternyata juga banyak kaum muda yang tertarik dan mendalami dunia keris.
Meskipun berfokus pada keris, tapi Jogja Keris juga memberi pelayanan untuk segala tosan aji, seperti tombak dan pedang. Selain melayani jual beli, Jogja Keris juga melayani untuk perawatannya dan pemasangan aksesoris-aksesoris. (opi)
 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS